Adalah Benny Arnas, lelaki kelahiran Lubuklinggau, 8 Mei 1983, dialah orangnya yang mengirimi saya buku keren ini. Suami dari Desy Arisandi ini merupakan penulis bergenre sastra yang khas. Bapak dua anak ini banyak menerima penghargaan sebagai buah dari karya-karyanya, sebut saja, Hadiah Sastra Batanghari, Benny meraih hadiah ini pada 2009 dari Gubernur Sumatera Selatan. Selanjutnya bagaikan aliran sungai, airnya mengalir deras, penghargaan demi penghargan diraihnya.
cinta Tak Pernah Tua karya Benny Arnas
- Pengelana Mati dalam Hikayat Kami,
- Gulistan,
- Orang Inggris,
- Pohon Tanjung Itu Cuma Sebatang,
- Muslihat Hujan Panas,
- Bunga Kecubung Bergaun Susu,
- Senapan Bengkok,
- Batubujang,
- Belajar Setia,
- Tupai-tupai Jatuh dari Langit,
- Senja yang Paling Ibu,
- Cahaya dari Barat.
Pernah suatu hari saya bertanya, “Ben, emangnya orang mengerti dengan gaya tulisanmu?”
Lagi-lagi doi bermetafora 🙂 Baiklah kalau begitu …
Saya coba mewawancarai Benny Arnas via inbox Facebook, namun belum juga dibalas. Maksud saya ingin menanyakan tentang beberapa hal lain dari dirinya. Akhirnya saya coba Google-ing. Saya memperoleh Informasi Benny Arnas sejauh ini sudah menelurkan buku-buku lain; Bulan Celurit Api, Jatuh dari Cinta, serta Bersetia.
“Hah, masih sempat pula kau mengurus kenikmatan dunia, Samin?! Lagi pula usiaku hampir empat puluh. Malu! Apa kata orang kampung. Cukuplah kematian Mursal dan Badri memberi pelajaran tentang malu!”
“Mengapa kau bicara seperti itu, Mai? Seperti tak ada adat kau? Tak pernah kau mengaji tentang menghormati suami? Sedih itu diperbolehkan Tuhan, tapi jangan berpanjangan. Begini akibatnya, kau jadi melawan. Lagi pula, aku tak paham ‘malu’ macam apa yang kaubicarakan?”
“Hah, berlapis nian kalimatmu, Samin. Yang mana harus kujawab? Aku tak peduli tentang kapan aku harus berhenti meratap. Kesedihan ini terlanjur hidup dengan malu yang harus ditanggung. Nah, kau malah minta anak lagi!””
Diksi yang penuh dengan spontanitas dari seorang Benny Arnas. Hal itu saya buktikan sendiri, saya duduk berdampingan dengannya di sebuah sesi kelas pelatihan Fasilitator Perpuseru. Saya tanya, “Apa yang sedang kamu tulis?” Lantas dijawabnya, “Ini lagi menulis cerita bersambung untuk sebuah koran….” Saya perhatikan, begitu spontan Benny menulis kata demi kata disertai diksi-diksi yang mengalir begitu cepat. “Talenta,” benak saya ikut bicara mengenai cara Benny Arnas menulis sebuah cerita saat itu.
Ada hal lain yang juga menarik dari buku cinta Tak Pernah Tua. Di dalam buku ini terdapat ilustrasi hadir menghiasi setiap cerita. Benny pernah berkisah, “Namanya Abdullah Ibnu Talhah, dia seorang ilustrator kelas dunia. Taksembarangan buku bisa disisipi oleh goresan gambar dia (Abdullah-red),” tegas Benny.
Itulah yang bisa saya ulas tentang cinta Tak Pernah Tua. Buku cetakan pertama 2014 terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini dapat diperoleh di toko-toko buku terkemuka di kota Anda, pembaca …
“Tidaklah kalian tahu, kalau setelah hijarhnya Rasulullah tak ada lagi hijrah di muka Bumi ini, kecuali kesungguh-sungguhan untuk Berbuat baik?” Tanjung Samin bin Muhammad Abduh
Kutipan di atas merupakan ungkapan yang ada di lembar prolog buku cinta Tak Pernah Tua karya Benny Arnas.
Euh dodol ah, sugan teh harus klik dulu tab blogger, geuning aya di handap ieu teh 😀 hihihi… ngawiat link Kang absurditasmalka.blogspot.com blog info lomba menulis
mangga … doa we sugan janten bekling hehehe 😀